Keabsahan Ijazah Presiden Jokowi, Peneliti Pusat Riset Politik BRIN: Ini Upaya Oknum Mencari Perhatian

KabarikuKeabsahan dokumen terkait kebenaran identitas Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) menjadi perbincangan dan dipertanyakan sejumlah pihak, meski pelurusan sudah dilakukan.

Seperti diketahui, Bambang Tri Mulyono didampingi kuasa hukumnya, Ahmad Khozinudin, menggugat Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait dugaan ijazah palsu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan itu terdaftar dengan nomor perkara 592/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.

Sidang gugatan Ijazah Palsu itu akan digelar PN Jakpus pada Selasa (18/10/2022) mendatang. Dikutip dari situs resmi PN Jakarta Pusat, sidang dijadwalkan berlangsung pukul 09.40 WIB.

Empat pihak yang menjadi tergugat dalam perkara dugaan ijazah palsu Jokowi ini, antara lain Jokowi selaku Presiden dalam kapasitas sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan (Presiden RI).

Lalu, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek yang saat itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).

Dalam surat gugatannya itu, Bambang meminta agar PN Jakarta Pusat menyatakan Presiden Jokowi telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah memberikan dokumen palsu berupa ijazah Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) atas nama Joko Widodo.

Dokumen palsu menurut Bambang, dipergunakan sebagai kelengkapan syarat pencalonan untuk memenuhi ketentuan pasal 9 ayat (1) huruf r PER-KPU Nomor 22 Tahun 2018, untuk digunakan dalam proses Pilpres 2019-2024.

Terkait hal itu, Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof Ova Emilia yang meyakinkan seluruh pihak bahwa presiden benar-benar lulusan Kampus Biru.

“Bapak Insinyur Joko Widodo adalah mahasiswa Prodi (program studi -red) S1 di Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada angkatan tahun 1980, dinyatakan lulus dari UGM tahun 1985, sesuai ketentuan dan bukti kelulusan, berdasarkan dokumen yang kami miliki,” kata Ova di Yogyakarta, Selasa (11/10/2022).

UGM merasa perlu memberikan penjelasan khusus terkait hal ini, karena apa yang berkembang dalam perbincangan publik dan upaya hukum pihak tertentu terkait ijazah Jokowi. UGM memastikan, dokumen kelulusan Jokowi tersimpan baik.

Berita Terkait Sebelumnya ‘Rektor UGM Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D., Tegaskan Presiden Jokowi Alumnus Fakultas Kehutanan UGM 1985’

Pernyataan itu dikuatkan Wakil Rektor UGM, Dr Arie Sujito, klarifikasi UGM berlaku bagi siapapun bermaksud mendudukkan masalah agar clear, tidak over spekulasi.

“Respons UGM bukan karena posisi Jokowi sebagai Presiden, melainkan karena statusnya sebagai alumni universitas ini,” ujarnya.

Terkait format ijazah yang bertuliskan tangan, UGM memastikan ketika Jokowi lulus pada 1985, universitas belum memiliki sistem komputerisasi. Dekan Fakultas Kehutanan UGM Sigit Sunarta menguatkan pernyataan itu.

“Kami sudah mencoba melihat mengenai fotmat ijazah yang diterima Pak Jokowi dengan teman satu angkatan yang kebetulan lulus pada saat bersamaan. Di mana, di situ persis formatnya, untuk Fakultas Kehutanan sama, ditulis dengan tulisan tangan halus,” kata Sigit.

Gugatan di Pengadilan

Keriuhan terakhir dipicu oleh postingan sejumlah pemengaruh di media sosial, terkait keaslian ijazah Jokowi dari UGM.

Kabariku merangkum dari berbagai sumber, Bambang Tri Mulyono penulis ‘Jokowi Undercover’ membuat namanya menjadi pusat perhatian, karena berani menuliskan hal yang bertentangan.

Dalam buku tersebut Bambang menuliskan sisi negatif Presiden ketujuh Indonesia. Tak lama setelah buku itu beredar, pihak Kepolisian melakukan pemeriksaan dan mengatakan jika Buku Jokowi Undercover hanya berisikan dugaan dari Bambang Tri saja atau tidak berdasarkan fakta.

Polisi juga menyebut buku tidak memenuhi syarat untuk disebut buku akademik karena penulis tidak memiliki sumber yang jelas yang dijadikan sebagai referensi penulisan. 

Tahun 2016, Bambang ditangkap polisi dan divonis penjara tiga tahun oleh pengadilan karena isi buku yang dianggap tidak sesuai kenyataan.

Bebas pada 2019, Bambang meneruskan upaya menyudutkan Jokowi, dengan menggandeng pengacara Ahmad Khozinudin.

Sementara itu, Ahmad Khozinudin selaku kuasa hukum Bambang Tri menyampaikan pernyataan, Selasa (11/10/2022) petang.

Menurut Ahmad, materi gugatan Perbuatan Melawan Hukum adalah Memberikan Keterangan Yang Tidak Benar dan/atau Memberikan Dokumen Palsu berupa Ijazah (Bukti Kelulusan) Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Atas Nama Joko Widodo Dalam Proses Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024.

“Jadi, kami tidak pernah mempersoalkan ijazah yang dikeluarkan UGM. Kami juga tidak menarik UGM menjadi pihak dalam berperkara,” ujarnya.

Pihaknya menegaskan perdebatkan persoalan ijazah bernilai intelektual dan tidak boleh dikriminalisasi.

“Saya juga ingin tegaskan kepada seluruh aparat penegak hukum, bahwa kedudukan hukum klien kami dan seluruh rakyat Indonesia, yang saat ini sedang memperdebatkan persoalan ijazah dari saudara Joko Widodo, adalah perdebatan yang bernilai intelektual dan tidak boleh dikriminalisasi,” kata dia.

Ahmad menolak penerapan pasal terkait hoaks, menyebar kebencian, permusuhan dan SARA, serta pasal pencemaran nama baik, ataupun pasal lain yang tidak relevan.

“Karena ini terkait materi gugatan, yang sudah disampaikan oleh klien kami lewat pengadilan,” tambahnya.

Gugatan ini bahkan mempersoalkan ijazah Jokowi sejak bangku sekolah dasar. PN Jakarta Pusat sendiri, menurut jadwal akan menyelenggarakan sidang perdana kasus ini pada 18 Oktober 2022.

Sebaiknya Tutup Polemik

Peneliti Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, SIP, MA., dalam wawancaranya bersama VOAIndonesia meminta publik berpikir cerdas.

“Saya pikir, publik perlu cerdas dan rasional dalam menghadapi polemik. Seharusnya kalau soal ijazah, apalagi itu disangkutpautkan dengan nama perguruan tinggi ternama, publik seharusnya sudah paham nama besar dan kredibilitas perguruan tinggi yang bersangkutan,” ujar Wasisto. Rabu (12/10/2022).

Wasisto setuju, kemungkinan kasus ini muncul terkait dengan tahun politik 2024. Dia menilai, isu seputar identitas Jokowi adalah isu klasik yang terus diputar kembali menjelang masuk tahun politik.

Pada sisi lain, gugatan hukum terhadap keabsahan data seseorang, apalagi pejabat publik, adalah ekspresi aspirasi yang wajar. Upaya itu merupakan bagian dari transparansi dan akuntabilitas,” ujarnya.

Dokumen Jokowi, sebenarnya sudah menjalani pengecekan berulang ketika mendaftar sebagai calon Wali Kota Solo dua kali, Gubernur DKI Jakarta, dan dua kali mencalonkan diri sebagai Presiden.

“Namun demikian, tergantung pula level demokrasi suatu negara. Kalau demokrasi negara maju, saya pikir hal itu sebenarnya sudah selesai di tingkat penyelenggara Pemilu, karena ada logika meritokrasi dan level of trust yang dipegang,” tandasnya.

Dalam posisi demokrasi di negara berkembang, Wasisto melihat polemik semacam ini kadang menjadi alat politisasi.

“Terlebih lagi kalau grup pemilih di negara itu, tidak punya pembilahan jelas, antara kanan maupun kiri,” tambahnya.

Warsisto mengungkap polemik serupa terjadi pada Mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Barrack Obama.

Sekelompok orang mempertanyakan apakah benar Obama lahir di wilayah AS, karena itu menjadi syarat dalam pencalonan sebagai Presiden, ungkapnya.

Dalam kasus Obama, kata Wasisto, polemik itu menjadi ekspresi perang urat syaraf politik, di mana pihak Republika yang beraliran konservatif lebih menghendaki Presiden yang kelahiran continental.

“Ini lebih pada sentimen ideologi. Nah dalam kasus Indonesia, itu memperlihatkan bagian dari polarisasi sehingga ujungnya adalah sentimen personal,” terang Wasisto.

Polemik di Indonesia saat ini, menurut Warsisto, berhubungan dengan level kedewasaan dalam berpolitik, selain soal kebebasan berekspresi yang dilindungi serta kepercayaan terhadap penyelenggara pemerintahan.

Namun, jika mengacu pada indikator kedewasaan politik itu, sebenarnya demokrasi Indonesia belum dewasa, tukasnya.

Wasisto pun meminta seluruh pihak berhenti berpolemik soal jati diri Presiden Joko Widodo.

“Karena kalau tidak menyudahi kedengkian itu, maka yang ada sentimen personal. Itu tidak akan selesai di ruang publik. Ini lebih pada upaya oknum tertentu yang mau menjadi pusat perhatian dengan menjatuhkan pihak lain,” kata dia memberi alasan.***

Red/K.000

BACA juga berita menarik seputar Pemilu KLIK disini

Tinggalkan Balasan