Bung Karno: Meski Merayap Saya Tetap Datang ke Muktamar Bukti Kecintaan Kepada NU

Kabariku- Bulan Oktober 1962 merupakan hari bersejarah bagi Indonesia, dimana saat itu salah satu daerah masih dikuasai Belanda, Irian Barat (Papua), akan segera kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi setelah melalui sebuah perjuangan yang dikenal dengan sebutan Tri Komando Rakyat (Trikora).

1 Oktober bendera Belanda turun di Irian Barat diganti bendera UNTEA, dan 1 Mei 1963, bendera satu-satunya di Irian Barat adalah Merah Putih.

arsip NU

Salah satu yang masih dikenang dalam catatan sejarah, ketika Presiden Soekarno menghadiri Muktamar NU ke-23 di Kota Surakarta, 28 Desember tahun 1962.

Kehadiran Presiden RI pertama pada acara Muktamar NU tentu mendapat perhatian tertentu dari para muktmarin dan khalayak umum. Berbagai momen dan peristiwa juga mengiringi kehadiran sang pemimpin tertinggi tersebut.

Karut-marut suasana politik kala itu di Tanah Air tengah memanas, seiring berbagai keputusan yang diambil Soekarno, baik di kancah domestik maupun dalam hubungan Indonesia dengan negara lain.

Dihadapan ribuan muktamarin, Soekarno menyampaikan pidatonya;

“Saya sangat cinta sekali kepada NU. Saya sangat gelisah jika ada orang yang mengatakan bahwa dia tidak cinta kepada NU. Meski harus merayap, saya akan tetap datang ke mukamar ini, agar orang tidak meragukan kecintaan saya kepada NU!” kata Soekarno.

Pidato ini menggambarkan kedekatan antara Sukarno dengan NU. Padahal, pada tahun-tahun itu, tensi politik tanah air tengah tinggi.

Bahkan, kala itu tengah terjadi gerakan Darul Islam-Tentara Islam Indonesia (DI-TII) dan Permesta, yang ingin memisahkan diri dengan NKRI.

Tak hanya mengucapkan rasa cinta, Soekarno saat itu juga menyampaikan pujian untuk organisasi yang didirikan oleh KH. Hasyi Asyari ini. Soekarno mengakui NU telah memberikan sumbangan yang besar kepada Indonesia.

Presiden pertama Indonesia menyebut telah diberi masukan oleh Rais ‘Aam dan KH. Wahab Hasbullah, untuk menangani masalah Irian Barat.

Berkat saran itu, lahirlah istilah yang dikenal dengan Diplomasi Cancut Tali Wondo, yakni upaya untuk menggalang kekuatan lahir dan batin disegala bidang. Dari saran itu pula kemudian lahir Trikora.

“Baik ditinjau dari sudut agama, nasionalisme, maupun sosialisme. NU memberi bantuan yang sebesar-besarnya. Malahan, ya memang benar, ini lho pak Wahab ini bilang sama saya waktu di DPA dibicarakan berunding apa tidak dengan Belanda mengenai Irian Barat, beliau mengatakan: jangan politik keling. Atas advis anggota DPA yang bernama Kiai Wahab Hasbullah itu, maka kita menjalankan Trikora dan berhasil saudara-saudara. Pada 1 Oktober bendera Belanda turun di Irian Barat diganti bendera UNTEA. Dan 1 Mei 1963, bendera satu-satunya di Irian Barat adalah Merah Putih,” Bung Karno menutup pidatonya.

Kedekatan Ir. Soekarno dengan Nahdlatul Ulama

Ulama Sepuh NU mengusulkan Soekarno jadi Presiden
Hasil konvensi yang ada di Muktamar NU ke 25 Surabaya menyepakati Presiden Indonesia kelak jika merdeka adalah Soekarno, bukan Hatta.

Lagu Indonesia Raya Masuk Pesantren
Kedekatan Soekarno dan ulama menjadikan Lagu Indonesia raya dinyanyikan di beberapa pesantren sebelum kemerdekaan Indonesia benar-benar tiba.

NU memastikan tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila
Ketika negeri ini masih mempertentangkan Islam dan Pancasila, ternyata KH Sahal Mahfudz telah tegas mengatakan bahwa Islam bisa berkembang dalam wadah NKRI yang berPancasila. Bahkan KH Muchid Muzadi pernah memiliki sebuah pepatah “Menjadi NU menjadi Indonesis”.

Nasionalisme

KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) mengungkapkan bahwa Bung Karno sering mengampanyekan pentingnya nasionalisme yang sejak lama diperjuangkan oleh kiai-kiai pesantren.

Sebab, nasionalisme ini bukan sekadar ‘isme’, tetapi mengandung nilai, tanggung jawab, rasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa. Nasionalisme juga merupakan panggilan agama untuk menyelamatkan dan melindungi segenap manusia dari kekejaman para penjajah.

Menangkal PKI

Para kiai NU selalu mengimbangi konsep PKI dan secara tidak langsung menghalau pikiran-pikiran PKI yang berupaya mengancam keselamatan Pancasila.

Kalangan pesantren dan para kiai NU senantiasa mendekat kepada Presiden Soekarno bukan bermaksud ‘nggandul’ kepada penguasa, melainkan agar bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan strategis supaya keputusan-keputusan Soekarno tidak terpengaruh oleh PKI.

Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) menyebutkan, hubungan baik antara Presiden Soekarno dan Kiai Wahab Chasbullah memudahkan diterimanya saran-saran NU yang disampaikan oleh Kiai Wahab lewat DPAS.

Misalnya, ketika DPAS sedang membicarakan perlu tidaknya berunding soal Irian Barat (sekarang Papua) dengan pihak Belanda.

Kiai Wahab menerima konsep Nasakom Soekarno pada 1960. Ide Nasakom Soekarno terlihat jelas pada Amanat Presiden 17 Agustus 1960 yang kemudian terkenal dengan rumusan “Jalannya Revolusi Kita” (Jarek).

Menerima konsep Nasakom tidak mudah bagi partai Islam lain seperti Masyumi sehingga Kiai Wahab dituduh macam-macam, diantaranya dituduh tidak konsisten, oportunis, bahkan dituduh ‘Kiai Nasakom’ pada masaera Demokrasi Terpimpin Soekarno.

Dalam pandangan Syaikhul Islam Ali dalam Kaidah Fikih Politik: Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama (2018), bagi pengkaji fiqih, strategi politik Kiai Wahab tidak salah karena berpijak pada prinsip fiqih yang fleksibel dan elastis.

Fleksibel tidak dapat disamakan dengan oportunis. Fleksibel mampu masuk di berbagai ruang dengan tetap mempertahankan ideologi, sedangkan oportunis berpihak pada siapa pun asal diberi keuntungan materi.

Soekarno meninggal pada pukul tujuh pagi, 21 Juni 1970. Dia dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, berwasiat agar dimakamkan “di bawah pohon yang rindang, dikelilingi oleh alam yang indah, di samping sebuah sungai dengan udara segar dan pemandangan bagus. Aku ingin beristirahat di antara bukit yang berombak-ombak dan di tengah ketenangan. Benar-benar keindahan dari tanah airku yang tercinta dan kesederhanaan darimana aku berasal. Dan aku ingin rumahku yang terakhir ini terletak di daerah Priangan yang sejuk, bergunung-gunung dan subur, di mana aku pertama kali bertemu dengan petani Marhaen“.

Berdasarkan perhitungan kalender Hijriah, NU didirikan pada 16 Rajab 1344 Hijriah. Tandanya, NU akan mencapai usianya yang ke-100 tahun pada 16 Rajab 1444 Hijriah atau bertepatan dengan 7 Februari 2023.

PBNU akan menggelar peringatan puncak resepsi 1 Abad NU di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur selama 24 jam nonstop pada Selasa, 7 Februari 2023.***

*Sumber: NU.or.id

Red/K.101

BACA juga Berita menarik Seputar Pemilu KLIK disini

Tinggalkan Balasan